4.3.09

Perlawanan dari Keterisolasian - Desa Aboru dan RMS

  • Warga Aboru, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, bersantai di atas talut penahan ombak, beberapa waktu lalu. Desa yang dikenal sebagai basis gerakan Republik Maluku Selatan itu merupakan daerah yang terisolasi dengan tingkat kemiskinan dan jumlah pengangguran yang tinggi. (Kompas/M Zaid Wahyudi ) Agung Setyahadi dan M Zaid Wahyudi
  • ABORU, sebuah desa di bagian tenggara Pulau Haruku, Maluku, selalu diidentikkan dengan gerakan separatis Republik Maluku Selatan. Bagi aparat ataupun bagi warga Maluku, Aboru sering diidentikkan dengan sikap warganya yang keras, tak bersahabat, dan sulit diatur.
  • Untuk menjangkau Aboru yang masuk dalam Kabupaten Maluku Tengah ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Dari Ambon, hanya dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan darat yang disambung dengan perahu motor menyeberangi bagian utara Laut Banda selama 40 menit.
  • Jalur laut itu merupakan satu-satunya penghubung Aboru dengan dunia luar. Untuk berhubungan dengan tetangga desanya di Kecamatan Pulau Haruku belum tersedia jalur darat yang memadai meskipun saat ini sedang dibangun. Jika musim ombak tiba, untuk bepergian ke desa tetangga warga harus melewati jalan setapak menyusuri hutan dan mendaki bukit.
  • Keterisolasian membuat 697 keluarga atau 2.100-an jiwa penduduk yang tinggal di desa itu sulit meningkatkan taraf hidup mereka. Jika sakit, mereka harus pergi ke puskesmas di desa tetangga melintasi perbukitan. Sekolah tertinggi di desa itu adalah SMA yang lokasinya cukup jauh dari desa induk.
  • Karena tak bisa ke mana-mana, warga jadi stres dan berpikir yang macam-macam, kata Elthinus Tuankotta (36), tokoh pemuda Aboru yang pernah beberapa tahun mendekam di penjara karena dakwaan sebagai pendukung RMS, Januari lalu.
  • Citra kekerasan masyarakatnya dan stigma RMS membuat masyarakat luar Aboru jarang berkunjung ke desa itu. Setiap ada orang tak dikenal datang tatapan nanar penuh kecurigaan warga setempat selalu tertuju kepada mereka.
  • Perasaan curiga yang kuat itu merupakan buah dari kekerasan fisik dan psikis yang mereka alami selama lebih dari setengah abad terakhir. Aboru memang menjadi basis utama gerakan RMS sejak lama. Banyak warga keturunan Maluku di Belanda pun berasal dari daerah ini.
  • Setiap hari kemerdekaan RMS pada 25 April, bendera RMS Benang Raja selalu berkibar di desa ini, baik di rumah penduduk, jalanan, maupun di hutan-hutan. Semangat separatisme ini mengental pascakonflik sosial di Maluku 1999 silam. Pada 2002-2003 jumlah bendera RMS yang berkibar mencapai ratusan dan pada 2003 puluhan warga Aboru ditangkap aparat atas tuduhan makar.
  • Kasus terakhir terjadi pada peringatan Hari Keluarga Nasional 2007. Bendera RMS dikibarkan oleh sejumlah penari cakalele di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pencarian pelaku dan pendukung insiden yang memalukan tersebut masih menimbulkan trauma warga Aboru dan semakin melanggengkan kebencian mereka terhadap aparat keamanan.
  • Masyarakat di sini tidak menganggap pemerintah karena pemerintah tak memerhatikan keinginan masyarakat, lanjut Elthinus.
  • Stigma
  • Daniel Saiya (56), tokoh masyarakat Aboru, menambahkan, isu RMS itu sengaja dipelihara oleh elite pemerintah negeri (sebutan desa di Maluku bagian tengah) demi kepentingan pribadi. Setiap kali ingin menyampaikan aspirasi dan menuntut transparansi atas dana pembangunan bagi desa, masyarakat langsung dituding RMS.
  • Selain menyisakan kepedihan akibat benturan dengan aparat keamanan, stigma itu membuat kesejahteraan masyarakat dan pembangunan desa jauh tertinggal dibandingkan dengan desa lain. Bahkan, tudingan yang diberlakukan secara serampangan itu menyulitkan pemuda-pemuda Aboru untuk mendaftarkan diri sebagai pegawai negeri sipil atau melamar sebagai anggota TNI-Polri.
  • Kalau stigma (RMS) ini dimainkan terus, jangan salahkan masyarakat jika sampai emosi. Katong (Kami) paling nekat, tambah mantan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Aboru yang juga mantan narapidana kasus separatisme, Jantje Riry.
  • Perasaan tertekan, tak terperhatikan serta impian akan adanya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat membuat warga Aboru akhirnya melawan. Meskipun masih ada sebagian kecil warga yang bercita-cita untuk merdeka, sebagian besar warga hanya menggunakan isu itu sebagai bentuk perlawanan atas pembangunan yang tidak merata.
  • Jantje sadar bahwa jika upaya memerdekakan diri hanya dilakukan warga Aboru sendiri, tidak akan pernah berhasil. Apa yang mereka perjuangkan selama ini hanya sebagai upaya meneruskan aspirasi masyarakat yang mendampakan kehidupan lebih baik.
  • Terorisme
  • Stigmatisasi yang merugikan juga dialami masyarakat Desa Haya, Tehoru, Maluku Tengah. Pascapenangkapan beberapa pelaku teror dan penemuan sejumlah lokasi latihan perang kelompok teroris di desa itu pada November 2005 lalu, cap teroris seolah-olah langsung menempel di kening setiap warga Haya.
  • Orang luar menganggap masyarakat Haya berbahaya dan harus diwaspadai. Padahal, kami tak seperti itu, ujar Ayub Piya, seorang tokoh masyarakat Haya.
  • Desa di pesisir selatan Pulau Seram itu memang pernah dijadikan basis gerakan teroris. Awalnya, anggota kelompok itu datang sebagai sukarelawan yang menyalurkan bantuan makanan dan obat-obatan pada awal 2000. Bantuan itu diterima dengan tangan terbuka karena masyarakat memang membutuhkannya akibat konflik sosial yang berkecamuk.
  • Dua tahun kemudian, jumlah sukarelawan bertambah. Fokus kegiatannya pun mulai merambah bidang pendidikan dengan mengajarkan pelajaran agama kepada anak-anak dan latihan fisik bagi warga dewasa sebagai bagian pertahanan saat konflik. Latihan fisik itu pun berkembang menjadi latihan perang-perangan.
  • Warga yang ikut kelompok itu umumnya dari keluarga kurang mampu. Anak-anak yang cerdas pun dikirimkan belajar ke sekolah di Makassar dan Jawa atas tanggungan biaya para sukarelawan itu. Orangtua yang anak-anaknya belajar agama dengan kelompok itu juga mendapat bantuan sejumlah kebutuhan pokok.
  • Akses sulit
  • Kelompok teror itu mampu bertahan hingga lima tahun di Haya karena sulitnya akses transportasi dan telekomunikasi di desa itu. Jarak Haya dengan Masohi, ibu kota kabupaten, hanya sekitar 80 kilometer. Namun, akses menuju desa itu sangat sulit akibat hancurnya jalan dan putusnya 16 jembatan di sepanjang rute tersebut.
  • Sulitnya akses membuat jarak tempuh bertambah dua kali lipat dari 2 jam menjadi 4 jam. Belum lagi banyaknya pungutan liar dari pemuda setempat sebagai ongkos memperbaiki jalan yang rusak dengan kisaran Rp 5.000-Rp 50.000. Total pungli di sepanjang jalur itu bisa mencapai Rp 200.000.
  • Tarif angkutan umum pun ikut naik hampir dua kali lipat. Ongkos bus kecil naik menjadi Rp 50.000, dari Rp 25.000, sedangkan tarif ojek sepeda motor melonjak dari Rp 100.000 menjadi Rp 150.000. Buruknya infrastruktur membuat aktivitas perekonomian warga terganggu. Panen coklat, cengkeh, dan kopra warga sering tidak dihargai layak oleh para tengkulak akibat mahalnya ongkos angkut.
  • Jika jembatan belum diperbaiki hingga musim hujan berikutnya, kami pasti terisolasi, ujar Jabar (39) warga Haya.
  • Buruknya telekomunikasi dan akses informasi membuat masyarakat tidak mengetahui perkembangan dunia luar. Tak ada koran, siaran radio, ataupun jaringan telepon di desa itu. Siaran televisi pun hanya dapat dijangkau dengan parabola atau TV kabel sehingga informasi yang didapat justru lebih banyak kabar dari Jakarta dibandingkan perkembangan daerah sendiri.
  • Oleh karena itu, saat kelompok sukarelawan datang dan menyebarkan radikalisme dalam beragama, masyarakat pun tak mengetahuinya dan tak mampu mengantisipasinya sejak awal. Kondisi itu diperparah dengan jarangnya desa itu dikunjungi masyarakat luar sehingga informasi yang diperoleh warga sangat terbatas.
  • Keterisolasian, ketertinggalan pembangunan, dan kemiskinan menjadikan warga sebagai korban yang harus menanggung stigma atas hal-hal yang tak mereka setujui. Warga Aboru dan Haya hanya berharap wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih dalam pemilu mendatang benar-benar mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, jujur, dan tak ingkar janji.