2.3.06

Tradisi Suku Naulu: Kepala Manusia, Persembahan Buat Rumah Adat

source: Radio Vox Populi, Ambon, updated: 2006-03-01 09:24:37 Azis Tunny ------------------------------------------------------------------- Di jaman yang serba modern saat peradaban manusia sudah keluar dari keterisolasiannya, ternyata di pedalaman Pulau Seram, Provinsi Maluku, terdapat satu komunitas suku asli yakni Naulu yang masih bertahan dengan tradisi unik peninggalan jaman bar-bar yang saat ini sangat bertentangan dengan norma hukum positif di belahan dunia manapun. Tradisi tersebut adalah memotong kepala manusia buat persembahan. Sebuah ritual adat yang diyakini sebagian warga Naulu sebagai kepercayaan yang mutlak harus dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia karena kepercayaan yang diyakini pelakunya, jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Suku yang prianya bercirikan khas ikat kepala merah itu hidup di pedalaman Seram dengan berkoloni dan agama yang dianut adalah aliran kepercayaan, sebagaimana agama para leluhurnya. Kehidupan masyarakatnya yang suka berburu dan berladang untuk makan itu tidak menetap dalam satu perkampungan besar. Mereka tersebar pada lima lokasi di Pulau Seram dengan dusun masing-masing Nuane, Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, dan Rohua. Pada Juli 2005 lalu, warga Masohi Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane. Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke, mengatakan tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral. “Warga saya tidak tahu kalau membunuh itu hukumannya apa,” terang Sahune saat ditemui Radio Vox Populi di Kantor LSM Humanum, Ambon, beberapa waktu lalu. Peristiwa pengambilan kepala manusia ini bukan baru pertama kali terjadi. Sebelumnya pada tahun 1990-an, tiga warga Naulu dari komunitas Nuane dihukum 17 tahun penjara karena melakukan hal yang sama. Saat itu korbannya dua orang yang tengah berburu di hutan dibunuh dan diambil kepalanya untuk ritual adat seperti yang terjadi pada Juli 2005 lalu. “Kami tidak tahu dan mengerti hukum. Saya memang sudah memberi arahan saat peristiwa sebelumnya terjadi, tapi itu tidak berhasil karena anggapan mereka (warganya, red) kita ini sama. Selain itu tidak ada dukungan pemerintah untuk turun ke suku saya untuk memberikan arahan,” ujarnya. Dikatakannya, tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman bar-bar, saat sering terjadi perang antar suku di pedalaman Pulau Seram sejak berabad-abad tahun lalu. Dalam kondisi seperti itu siapa yang kuat dialah yang menang. Bahkan dalam tradisi dulu, seorang raja yang ingin mengangkat seorang anak mantu laki-laki haruslah heroik dengan menunjukan kejantanannya dengan mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin. “Ajaran adat kami sebenarnya tidak seperti itu tapi tradisi adat dilepaskan saat muncul masa-masa penguasaan. Saat terjadi perang antar suku untuk saling menguasai,” jelasnya. Sahune mengatakan, keyakinan dikalangan warganya bahwa potong kepala merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan saat akan melakukan ritual adat seperti perbaikan atau pergantian rumah adat. “Perbuatan mereka karena tidak tahu tentang hukum, dan keyakinan mereka kalau tidak melakukan pemotongan kepala bisa sakit bahkan mati,” ungkapnya. Disamping itu, kuasa hukum banding terdakwa Naulu, Samson Atapary, balik mempertanyakan tanggungjawab negara yang tidak menyikapi secara serius tradisi masyarakat Naulu tersebut. Tradisi potong kepala manusia di suku Naulu ini, kata Samson, bukan yang pertama terjadi tapi sudah berulang kali dan tidak pernah ada pendekatan atau penyuluhan oleh pemerintah ke masyarakat Naulu. “Ini sebenarnya tanggungjawab negara yang sudah mengetahui ada tradisi yang bertentangan dengan hukum formal tapi tidak ada proses untuk memberikan pemahaman dan penyuluhan tentang hukum kepada warga Naulu,” sesal Samson. Dirinya menambahkan, pihaknya tidak puas dengan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan faktor non yuridis dalam pengambilan keputusan. “Kami melihat, vonis yang diberikan hakim buat mereka (para terdakwa, red) tidak menjadi sarana penyadaran dan pembinaan buat mereka, sehingga kami selaku kuasa hukum akan banding dengan harapan ada pertimbangan-pertimbangan non yuridis terhadap vonis nanti,” kata Samson. “Kami akan banding sebagaimana diatur dalam undang-undang,” sela Stenley Mailissa. Dalam proses banding tersebut, penasehat hukum dari keenam terdakwa mutilasi yang melibatkan warga suku Naulu ini adalah Samson Atapary dan Stenley Mailissa. “Kami akan prioritaskan kasus tiga klien kami yang divonis mati, dengan meminta keadilan buat mereka. Kenapa pengadilan memutuskan hukuman seberat itu, ini ada diskriminasi hukum. Mereka bunuh orang karena tidak tahu konsekuensi hukumnya apa,” kata Stenley. Dirinya menceritakan, dari fakta persidangan menunjukkan kepolosan kliennya dan ketidaktahuannya akan hukum. “Saat hakim bertanya ke terdakwa apa yang mereka rasakan saat membunuh orang, jawaban dari dua orang terdakwa sangat mengejutkan kami yakni mereka merasa bangga. Ini menunjukkan kalau mereka memang tidak tau apa-apa. Bahkan mereka katakan kepada hakim kalau tidak ada kepala manusia katong (kami) bisa sakit dan mati,” kata Stenley, meniru ucapan para terdakwa saat persidangan lalu. Untuk itu dirinya berharap, perlakuan hukum kepada kliennya pada banding nanti tidak bisa disamakan dengan warga masyarakat lain yang sudah hidup terbuka. Mengingat pendidikan dan pengetahuan warga Naulu sama sekali tidak ada tentang hukum karena tidak ada pembangunan hukum, sosial, maupun pendidikan terhadap warga masyarakat Naulu. “Yang diketahuinya hanya sebatas berburu dan bertanam,” ujarnya. Kehidupan sosial yang terbelakang ini juga diakui Raja Sahune Matoke. Perkampungan Nuane yang didiami 525 keluarga atau sekitar 900 jiwa itu belum tersentuh pembangunan sama sekali. Ironisnya, tidak jauh dari perkampungan Nuane atau sekitar dua kilometer terdapat pemukiman transmigrasi lokal yang baru ada 10 tahun belakangan ini. “Di lokasi transmigrasi sudah jalan raya, sekolah, dan listrik. Kami yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang tidak dibangun jalan raya dan listrik,” ungkapnya. Selain itu, agama yang dipakai oleh masyarakatnya yakni aliran kepercayaan justru mempersulit mereka dalam mencari pekerjaan, termasuk dalam hal pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hingga saat ini, kata Sahune, baru satu warganya yang kuliah. Itupun baru duduk pada semester lima di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik di Masohi, Maluku Tengah. Sementara lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) baru lima orang. “Selain faktor ekonomi masyarakat saya yang miskin, anggapan dari para orang tua di kalangan masyarakat kami bahwa percuma sekolahkan anak kalau nanti tidak bisa bekerja di kantor pemerintahan. Persoalannya karena agama yang dianut kami katanya tidak resmi,” terangnya. (vp)